"Menikah adalah kesunnahanku dan kesunnahan para Nabi sebelumku. Siapa yang mengaku ummatku, maka menikahlah."

Minggu, 30 Juni 2013


Banyak orang mengatakan, kala orang sudah menikah, saat itulah ia tidak lagi berkembang hidupnya. Artinya, dia sudah tidak menjadi apa-apa selain apa yang ia miliki ketika menikah. Gejala atas persepesi tersebut mudah sekali dibaca dalam praktik masyarakat kita. Terutama dari pihak perempuan yang akan menikah. Orang tuanya kadang baru mengijinkan anaknya diserahkan kepada calon suami, untuk dinikahi, setelah selesai studi, dapat kerja, atau menunggu si laki-laki mapan terlebih dulu.

Ini biasanya yang menjadikan seorang laki-laki menunda menikah hingga bertahun-tahun, walau pacaran sudah dilalui sekian tahun. Ya, mereka ragu melangkah menikah karena risiko-risiko yang rasional. Salahkah? Tidak. Setiap kita membutuhkan perencanaan hidup beserta kepastiannya. Namun, apa yang pasti dalam hidup kita kecuali mati?

Di bawah ini, saya mengulas beberapa hal yang menjadikan orang beruntung karena menikah secara ikhlas.  

Pertama, bagi saya, menikah itu justru memberikan jalan rejeki yang, bahkan kita sendiri, tidak bisa memprediksi dari mana jalannya. Banyak pasangan terbukti jadi kaya raya, sukses dalam hidup dan karir justru setelah ia menikah. Rasionalitasnya gampang. Menikah adalah menyatunya dua akal suami dan istri. Ketika masih membujang, kita hanya punya satu pemikiran saja dalam memutuskan banyak hal. Risikonya juga diitanggung oleh kita sendiri. Tapi, kala menikah, masalah yang ada, tentu akan dihadapi bersama: suami dan istri.

Ini mengingatkan saya pada Wright bersaudara, pencipta kapal terbang pertama. Seorang ilmuan mengatakan penemuan pesawat terbang yang dulunya dianggap mustahil, jadi nyata karena dikerjakan oleh dua otak manusia yang saling bekerjasama.

Dalam hubungan suami istri pun, saya pikir demikian. Hal yang dulunya tidak bisa dikerjakan dewekan (personal), kini bisa dikerjakan secara bersama, dalam suka maupun duka. Bukti konkrit yang bisa saya haturkan kepada Anda adalah anak. Hehe. Anak adalah hasil produksi cinta kasih antara suami dan istri, yang tidak mungkin terjadi tanpa ada ikatan pernikah (saya tidak sedang membicarakan LKMD [Lamar Kari, Meteng Disik/ Lamar Belakangan, Hamil Duluan]).

Kedua, karena menikah, banyak orang dimudahkan jalannya. Terutama soal rejeki. Di banyak kesempatan, saya sering menjumpai seorang suami, yang ketika perjaka, dia tak punya apa-apa, namun setelah menikah ia mudah sekali mendapatkan sumber rejeki. Adakalanya jalan itu datang dari mertua, ada kalanya datang dari istri.

Mendapatkan mertua kaya yang baik hatinya, itu anugerah. Anda sebagai menantu tentu akan dibimibing untuk berbisnis sebagaimana yang telah dilakukan selama ini. Tanpa menikah, apa Anda akan dibantu secara suka rela? Bahkan, di tempat saya tinggal, ada mertua yang rela menggadaikan hektar tanahnya bernilai 6 Milyar untuk menantunya yang mulai berbisnis. Wow. Artinya, mertua ternyata bisa jadi sahabat baik “mengutang tanpa agunan”. Hehe

Istri juga bisa jadi sumber lahirnya rejeki, bagitu juga sebaliknya, suami. Praktiknya begini: ada seorang laki-laki yang tidak pernah berbisnis sama sekali. Ia nol soal bisnis. Tapi istrinya kebetulan seorang yang pandai berhitung soal keuntungan dan kesempatan bisnis, walau belum pernah berbisnis. Istri jadi komandan, suami jadi prajurit. Soal rejeki. Pemikiran awal datang dari istri, sementara eksekusi lapangan, diambil suami. Ini banyak terjadi.

Saya punya teman laki-laki. Ia tidak pandai bernisnis. Kata orang, ia kurang cocok menekuni dunia bisnis. Cocoknya guru. Namun istrinya luwes sekali bergaul dengan orang. Mulailah ia jualan kayu gelondongan. Pelanggannya banyak. Suami hanya berperan jaga toko kayu. Istrinya berperan sebagai kalkulator bisnis dan marketing utama. Apa yang terjadi, kini si laki-laki yang dulu tak punya apa-apa, miskin, bisa membiayai orang tua naik haji tiga kali berkat usaha gono-gini (Jawa: Patunggaeng). 

Cepatlah menikah agar jadi kaya!

[MasBad]

Pin It

3 komentar: