"Menikah adalah kesunnahanku dan kesunnahan para Nabi sebelumku. Siapa yang mengaku ummatku, maka menikahlah."

Minggu, 30 Juni 2013

Walaupun menikah adalah masalah tanggungjawab kedua mempelai, namun, bagi kebanyaka orang Jawa, memilih tanggal baik menikah tidak baik disepelekan. Hingga kini pun, fenomena pemilihan hari baik masih jadi trend utama bagi mereka yang akan melangsungkan akad nikah. Tak di desa, tidak pula di kota. Akad nikah hanya sekali seumur hidup (bagi yang tidak berkehendak poligami). Di sana ada sakralitas, kenangan hidup dan sejarah pasangan yang paling diingat.  

Bahkan, banyak kok yang meyakini pemilihan hari baik akan menentukan nasib rumah tangga di kemudian hari. Utamanya soal rejeki, keturunan dan martabat suami-istri di masa depan.

Saya punya cerita menarik. Seorang perempuan bercerita dirinya pernah disukai oleh anak seorang ulama’ atau kyai desa setempat. Ia tahu kalau putra sang kyai itu (Gus) mencintainya. Namun ia tidak pernah mendengar langsung bahwa anak kyainya itu mencintai dan bermaksud menikah. Artinya, dia belum pernah ditembak nyatakan cinta oleh si Gus itu.

Beberapa bulan kemudian, seorang laki-laki datang ke orangtua perempuan perawan itu untuk menyatakan minat dan ketertarikannya mempersunting sang gadis. Karena anak sang kyai itu tidak ada kejelasan, hanya rumor-rumor yang berkembang yang sampai ke telinganya, maka, si gadis dengan tanpa beban menerima pinangan jejaka itu.

Kini, tinggal penentuan hari nikah. Si gadis datang sowan (silturrahim) ke kyai yang jadi guru di kampungnya itu untuk meminta pertimbangan, nasihat baik dan sekaligus meminta hari baik.

Pernikahan sudah dilakukan. Kini, si gadis dan jejeka itu jadi sepasang suami-istri. Tetapi, sejak saat itu, hidupnya seperti berubah total. Usaha orangtua si gadis bangkrut. Segala jenis usaha yang dilakuakn oleh suami, gagal terus sebelum mencapai puncak. Mereka baru memiliki rumah reot setelah anak pertamanya berusia belasan tahun.

Hingga memiliki menantu, mereka tidak punya papan tidur yang layak kecuali hanya sebuah kasur yang digunakan tidur tiga orang anaknya setiap hari. Beruntung sang menantu sabar mau tidur bersama istri, mertua, dan dua iparnya dalam satu kasur tipis, yang kala hujan, genteng rumah berserakan, air menggenangi sisi-sisi kasur, yang hanya bisa ditahan dengan plastik yang biasa digunakan bertani ke sawah, lalu tidur.

Karena kemiskinan yang menjerat, putra terakhir dari pasangan gadis dan jejaka itu meninggal sia-sia akibat penyakit yang tak mampu diobati. Tetangganya kala itu taka da yang mau berbaik hati memberikan pinjaman untuk berobat. Tiga hari panas tinggi, tak berhasil diobati. Si kecil tak kuat bertahan hingga menghembuskan nafas terakhir.

Jejaka itu, sekitar 10 tahun lalu, pernah meninggal semalam. Kata orang-orang, ia ditenung-santet oleh tetangga yang masih saudaranya sendiri. Padahal salama hidup ia tak pernah memiliki pengaruh, karir dan kekayaan melimpah yang layak dihasud-sirik orang lain. Si gadis yang sudah punya menantu mengetahui siapa yang melakukan perbuatan jahat atas suaminya tersebut.

Ia tidak ikhlash atas kekeprgian suaminya walau sudah enam tahun sakit terus-menerus tanpa diketahui gejala pastinya. Ia disantet karena salah sasaran, kata orang yang jahat itu kepada istrinya langsung, ketika sudah akan dikuburkan. Maafnya tidak diterima. Sang istri, gadis itu, meminta keadilan kepada Yang Maha Kuasa mengembalikan nyawa suaminya. Ia tidak membolehkan suaminya dikubur walau sudah dikafani dengan kain mori khusus mayat. Tanpa diduga, menjelang subuh, si jejaka itu, sang suami itu, bangun dari tidur tanpa nafasanya sejak jam 5 sore.

Kini, jejaka itu masih hidup. Istrinya justru yang telah mendahului wafat akhir 2012 silam. Sebelum meninggal, gadis yang sudah jadi nenek usia 73-an tersebut mendoakan kepada semua anak, menantu dan cucu agar hidupnya sejahtera, bahagia, nyaman, damai, penuh iman, dan dihormati di masyarakat dan Tuhan. Ia ingin agar pendertaan yang ia alami selama hidup bersama suami tidak akan dialami oleh anak-cucunya kelak.

Entah kebetulan atau tidak, sejak meninggalnya gadis yang sudah jadi nenek itu, semuanya anaknya mendapatkan jalan rejeki tanpa terduga. Dua bulan setelahnya, putri pertamanya kedatangan mantu. Putri kedua, mampu membangun rumah. Dan putri ketiga (terakhir yang hidup), membeli motor baru.

Sang gadis itu berkali-kali menggatakan kepada anak-cucuknya kalau hidupnya hampir tak pernah berkecukupan karena dijerumuskan oleh kyai kampungnya sendiri, sebelum menikah. Tanggal menikah yang diberikan bukan merupakan hari yang baik dijadikan akad pernikahan. Sang kyai marah atas dirinya karena tidak jadi menikah dengan si Gus, putra tunggal yang ia kagumi. Padahal sang kyai sangat mengharapkan ia jadi menantu.

Ternyata, iri, dengki, benci, telah memakan jalan hidup dan keberuntungan orang lain. Walau ia adalah murid (memberikan tanggal nikah yang keliru), tetangga (santet) atau saudara.

Kalau Anda percaya, ada baiknya meminta hari baik kepada orang yang tepat untuk melangsungkan akad nikah. Lebih lengkapnya bisa baca di sini.

[MasBad]    

Pin It

0 komentar:

Posting Komentar