Walaupun
menikah adalah masalah tanggungjawab kedua mempelai, namun, bagi kebanyaka
orang Jawa, memilih tanggal baik menikah tidak baik disepelekan. Hingga kini
pun, fenomena pemilihan hari baik masih jadi trend utama bagi mereka yang akan
melangsungkan akad nikah. Tak di desa, tidak pula di kota. Akad nikah hanya
sekali seumur hidup (bagi yang tidak berkehendak poligami). Di sana ada
sakralitas, kenangan hidup dan sejarah pasangan yang paling diingat.
Bahkan,
banyak kok yang meyakini pemilihan hari baik akan menentukan nasib rumah tangga
di kemudian hari. Utamanya soal rejeki, keturunan dan martabat suami-istri di
masa depan.
Saya
punya cerita menarik. Seorang perempuan bercerita dirinya pernah disukai oleh
anak seorang ulama’ atau kyai desa setempat. Ia tahu kalau putra sang kyai itu
(Gus) mencintainya. Namun ia tidak pernah mendengar langsung bahwa anak kyainya
itu mencintai dan bermaksud menikah. Artinya, dia belum pernah ditembak
nyatakan cinta oleh si Gus itu.
Beberapa
bulan kemudian, seorang laki-laki datang ke orangtua perempuan perawan itu
untuk menyatakan minat dan ketertarikannya mempersunting sang gadis. Karena
anak sang kyai itu tidak ada kejelasan, hanya rumor-rumor yang berkembang yang
sampai ke telinganya, maka, si gadis dengan tanpa beban menerima pinangan
jejaka itu.
Kini,
tinggal penentuan hari nikah. Si gadis datang sowan (silturrahim) ke kyai yang
jadi guru di kampungnya itu untuk meminta pertimbangan, nasihat baik dan
sekaligus meminta hari baik.
Pernikahan
sudah dilakukan. Kini, si gadis dan jejeka itu jadi sepasang suami-istri.
Tetapi, sejak saat itu, hidupnya seperti berubah total. Usaha orangtua si gadis
bangkrut. Segala jenis usaha yang dilakuakn oleh suami, gagal terus sebelum
mencapai puncak. Mereka baru memiliki rumah reot setelah anak pertamanya
berusia belasan tahun.
Hingga
memiliki menantu, mereka tidak punya papan tidur yang layak kecuali hanya
sebuah kasur yang digunakan tidur tiga orang anaknya setiap hari. Beruntung
sang menantu sabar mau tidur bersama istri, mertua, dan dua iparnya dalam satu
kasur tipis, yang kala hujan, genteng rumah berserakan, air menggenangi
sisi-sisi kasur, yang hanya bisa ditahan dengan plastik yang biasa digunakan
bertani ke sawah, lalu tidur.
Karena
kemiskinan yang menjerat, putra terakhir dari pasangan gadis dan jejaka itu
meninggal sia-sia akibat penyakit yang tak mampu diobati. Tetangganya kala itu
taka da yang mau berbaik hati memberikan pinjaman untuk berobat. Tiga hari
panas tinggi, tak berhasil diobati. Si kecil tak kuat bertahan hingga menghembuskan
nafas terakhir.
Jejaka
itu, sekitar 10 tahun lalu, pernah meninggal semalam. Kata orang-orang, ia
ditenung-santet oleh tetangga yang masih saudaranya sendiri. Padahal salama
hidup ia tak pernah memiliki pengaruh, karir dan kekayaan melimpah yang layak
dihasud-sirik orang lain. Si gadis yang sudah punya menantu mengetahui siapa
yang melakukan perbuatan jahat atas suaminya tersebut.
Ia
tidak ikhlash atas kekeprgian suaminya walau sudah enam tahun sakit
terus-menerus tanpa diketahui gejala pastinya. Ia disantet karena salah
sasaran, kata orang yang jahat itu kepada istrinya langsung, ketika sudah akan
dikuburkan. Maafnya tidak diterima. Sang istri, gadis itu, meminta keadilan
kepada Yang Maha Kuasa mengembalikan nyawa suaminya. Ia tidak membolehkan
suaminya dikubur walau sudah dikafani dengan kain mori khusus mayat. Tanpa
diduga, menjelang subuh, si jejaka itu, sang suami itu, bangun dari tidur tanpa
nafasanya sejak jam 5 sore.
Kini,
jejaka itu masih hidup. Istrinya justru yang telah mendahului wafat akhir 2012
silam. Sebelum meninggal, gadis yang sudah jadi nenek usia 73-an tersebut
mendoakan kepada semua anak, menantu dan cucu agar hidupnya sejahtera, bahagia,
nyaman, damai, penuh iman, dan dihormati di masyarakat dan Tuhan. Ia ingin agar
pendertaan yang ia alami selama hidup bersama suami tidak akan dialami oleh
anak-cucunya kelak.
Entah
kebetulan atau tidak, sejak meninggalnya gadis yang sudah jadi nenek itu,
semuanya anaknya mendapatkan jalan rejeki tanpa terduga. Dua bulan setelahnya,
putri pertamanya kedatangan mantu. Putri kedua, mampu membangun rumah. Dan
putri ketiga (terakhir yang hidup), membeli motor baru.
Sang
gadis itu berkali-kali menggatakan kepada anak-cucuknya kalau hidupnya hampir
tak pernah berkecukupan karena dijerumuskan oleh kyai kampungnya sendiri,
sebelum menikah. Tanggal menikah yang diberikan bukan merupakan hari yang baik
dijadikan akad pernikahan. Sang kyai marah atas dirinya karena tidak jadi
menikah dengan si Gus, putra tunggal yang ia kagumi. Padahal sang kyai sangat
mengharapkan ia jadi menantu.
Ternyata,
iri, dengki, benci, telah memakan jalan hidup dan keberuntungan orang lain.
Walau ia adalah murid (memberikan tanggal nikah yang keliru), tetangga (santet)
atau saudara.
Kalau
Anda percaya, ada baiknya meminta hari baik kepada orang yang tepat untuk
melangsungkan akad nikah. Lebih lengkapnya bisa baca di sini.
[MasBad]